|
Saat kami sekeluarga tengah berkumpul menonton acara berita di salah satu
stasiun TV abi mendadak mengambil remote dan menekan tombol off. “Sudah cukup
nonton TVnya, sekarang kalian harus mengaji” Abi nampak tak senang
dengan pemberitaan yang saat itu sedang heboh-hebohnya. Ya…berita tentang bom
yang meledak di sebuah hotel bintang lima
di ibukota. Aku, kakak dan Umi tak berani bertanya kenapa abi harus mematikan
TV padahal berita kan
penting supaya kita tak ketinggalan informasi. Hal itu memaksa kami
meninggalkan ruang tengah dan berpindah masuk kamar. Sebelum abi mematikan TV
tadi aku sempat melihat banyak korban yang terluka. Bahkan menurut berita di
radio yang aku dengarkan secara sembunyi-sembunyi dikamar ada korban jiwanya
juga. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, siapa ya yang tega melakukan ini”
Rahma bertanya pada dirinya sendiri mengapa masih juga ada teror bom namun ia
tak punya jawaban atas
pertanyaannya.
Aku membayangkan betapa sakit rasanya terkena ledakan
bom seperti itu. Keluarga yang ditinggal oleh korban pasti juga merasa sedih
dan sangat kehilangan. Kakakku nampaknya juga tak tahu persis siapa yang
melakukan pengeboman dan apa pula alasannya melakukan hal keji tersebut. Tapi
tadi dalam ciri-ciri yang disebutkan sebagai tersangka pengeboman itu antara
lain : berjenis kelamin laki-laki, berjenggot dan memakai baju takwa. “Apa
mungkin orang Islam yang melakukan ini kak?” Pertanyaanku itu sangat
beralasan karena ciri-ciri yang disebutkan oleh petugas keamanan
menggambarkan seperti itu. Kak Kayla tak bisa menjawab pertanyaanku, ia hanya
menunjuk jarinya keatas sembari bilang “Wallohu a’lam dik”. Semua ini memang
akan terus menjadi teka-teki dan hanya Allah yang Maha Tahu. Kami masih saja
asik membicarakan kejadian di TV tadi sampai aku dengar abi berteriak dari
ruang tengah “Rahma, Kayla cepat ngaji…abi belum dengar kalian mengaji”.
Kakakku tak mau kena marah abi, ia segera bergegas mengambil Juz amma di meja
belajar dan mulai menuntunku mengeja satu persatu huruf yang terdapat di
kitab itu. Abi memang tegas dalam menuntun anaknya soal agama. Sholat, ngaji
serta kewajiban yang lain harus dilaksanakan dan tak boleh kami tinggalkan.
“Kalian harus menjalankan perintah Allah secara sungguh-sungguh dan juga
harus meninggalkan laranganNya jika ingin disayang oleh Allah” Begitu pesan
abi dulu waktu kami malas-malasan sholat. Hingga kini kami masih ingat betul
pesan itu dan menjalankannya dengan
ikhlas.
Ketegasan abi dalam beragama membuat warga
dikampung kami berpikiran bahwa beliau adalah salah seorang anggota teroris.
Celana yang dikenakan abi ujungnya tak menyentuh tanah, hampir semuanya
diatas mata kaki. Di janggutnya tumbuh jenggot hingga ada sebagian orang yang
sering mengoloknya dengan sebutan domba. Abi tak pernah menghiraukan
olok-olok tersebut. Rumah kami yang sempit sering disesaki teman-teman abi
yang datang untuk mengaji bersama. Pernah suatu ketika pak RT mendatangi
rumah kami dan menanyai abi apakah kegiatan yang dilakukan dirumah kami ada
sangkut pautnya dengan terorisme. “Kami hanya mengkaji Al-Qur’an dan Hadits pak
RT, kami sama sekali tak tahu menahu soal merakit bom” Abi menjawab
pertanyaan dan menjelaskan kepada pak RT dengan
sabar.
“Umi, apa benar abi kita teroris seperti yang
dituduhkan pak RT dan sebagian warga disini?” Dengan polosnya Rahma bertanya
pada uminya pada suatu sore. Bu Nisa sedikit kaget dengan pertanyaan anaknya
tersebut “Kenapa adik bertanya seperti itu? Abi kan selalu bilang bahwa membunuh orang tak
berdosa itu tidak boleh, mana mungkin abi melakukan hal itu” Bu Nisa
meyakinkan pada putrinya bahwa suaminya bukanlah seperti yang dituduhkan
sebagian warga di kampung mereka. “Sudahlah nak biar Allah nanti yang
menunjukkan kebenaran” Penjelasan dari umi membuat aku merasa lega. Akupun
tertidur manja dipelukan umi.
Siang hari sesusai melaksanakan sholat Dzuhur
berjamaah terdengar bel berbunyi. Abi yang sudah selesai dzikir menuju pintu
depan rumah kami. “Selamat siang pak, kami dari kepolisian silahkan ikut kami
ke markas” Seorang aparat berseragam lengkap nampak menyodorkan surat penangkapan pada
abi. Aku begitu takut dan cemas melihat abi akan dibawa aparat itu. Aku hanya
menangis diikuti kak Kayla yang juga terlihat merah matanya. Umi merangkul
kami mencoba menenangkan aku dan kakakku. “Tak apa-apa nak, jika abi tak
bersalah pasti akan cepat pulang, Assalamualaikum” Ucapan itu mewakili
perpisahan abi dengan kami sekeluarga. “Waalaikumussalam” Kami menjawab salam
abi sambil berdiri didepan pintu melihat abi dan beberapa polisi yang membawa
beberapa tas milik abi.
Esoknya warga sudah ramai memperbincangkan
keluarga kami. Tak lain karena abi kini berada di markas polisi.
“Astaghfirulloh hal adzim…umi coba lihat Koran ini” Kak Kayla menyodorkan
Koran langganan kami pada umi. Nampak wajah abi dihalaman depan Koran itu.
Teman-teman abi memperlihatkan sikap keprihatinan mereka. Ada yang datang ke rumah untuk menguatkan
semangat kami. “Nanti kami akan ke markas polisi, kami akan berikan
kesaksian, Ummu Rahma sabar ya” Seorang pria dengan jenggot yang panjangnya
hampir sama dengan jenggot abi memberitahukan pada umi tentang rencananya
sedang istrinya nampak menenangkan dengan mengelus bahu
umiku.
Sore hari aku dan kakakku mengurung diri dikamar
membayangkan bagaimana nasib abi di markas polisi “Abi sedang apa ya kak?
Kasihan abi”. Kami berdua hanya berdoa pada Allah supaya memberikan yang
terbaik buat abi. “Assalamualaikum…Umi, Rahma, Kayla” suara itu tak asing
lagi ditelingaku. Aku berlari menuju pintu depan dan kudapati abi menenteng
tasnya dengan wajah penuh sinar bahagia. Dipeluknya kami dengan erat seakan
takkan dilepasnya. “Abi sudah bebas?” Umi penasaran dengan nasib abi.
“Ya…terjadi kesalahan penangkapan kemarin” Allah telah menjawab doa kita
semua.
Tas abi yang kemarin dicurigai sebagai tempat
penyimpanan bahan pembuat bom ternyata hanya berisi obat-obatan herbal
Habatus Sauda yang selama ini dijualnya. “lalu berita di Koran itu?” Sergah
umi lagi seakan belum percaya. “Kadang manusia begitu saja mengambil
kesimpulan tanpa tabayyun (cek dan ricek) terlebih dahulu” Abi nampak tenang
dan tak sedikitpun rasa marah terlihat di wajahnya terkait pemberitaan
tentang dirinya. “Seringkali orang memandang aneh pada kita yang memakai
celana cingkrang dan memelihara jenggot padahal itu semua adalah Sunnah dari
Rasulullah Muhammad saw” Penjelasan abi itu membuatku mengerti mengapa selama
ini ia tetap kukuh mempertahankan itu semua meski sering dicap aneh oleh
banyak orang.
|
|
|