Awan biru terlihat berarak melintasi sebuah desa kecil yang bernama
Gergunung. Di desa itu tinggalah seorang petani bersama istri dan seorang
anak laki-lakinya yang bernama Johan. Bapak Johan bernama Seno sedang Ibunya
adalah Wulan. Pak Seno dan bu Wulan sangat menyayangi Johan. Setiap kali
pergi ke ladang untuk mencari ubi mereka selalu mengajak Johan. Ditengah-tengah
kegiatan mereka mencari ubi, Johan berteriak kegirangan dan menarik lengan
bapaknya “Pak itu apa namanya” Johan menunjuk binatang yang hinggap dipohon
Mahoni. “Itu burung kenari nak”. Nampak seekor burung kecil dengan bulu yang
indah suaranya pun merdu. Meski sudah sering menjelajah ladang bersama kedua
orang tuanya namun Johan baru kali ini melihat ada burung yang seperti itu.
Selang beberapa menit anaknya bertanya lagi “Kalau itu suara apa bu’?” Bu
Wulan mencermati suara yang dimaksud anaknya “Itu suara burung kenari yang
kau lihat tadi anakku”. Penuh rasa keingintahuan memang anak pasangan Pak
Seno dan Bu Wulan itu. Sungguh beruntung Johan yang memiliki orang tua
penyabar dan berilmu hingga dapat menjelaskan banyak hal yang belum
diketahuinya. Dalam perjalanan pulang Johan bertanya lagi saat melihat
onggokan rumput kering yang disusun membentuk setengah lingkaran
“Terus..kalau ini apa pak” Pak Seno menjelaskan dengan rinci bahwa itu adalah
rumah atau sarang burung kenari yang tadi telah dilihat dan didengar oleh
anaknya. Bertambah takjub lelaki kecil itu akan burung yang bernama kenari,
bulunya indah suaranya merdu rumahnya pun unik
pikirnya.
Sampai dirumah Johan mendadak berlari menuju teras
rumah dan memanggil bapak dan ibunya untuk segera keluar “Pak lihat itu
burung apa, suaranya bagus sekali” “Nak itu kan burung kenari sama seperti yang kau
lihat diladang tadi, hanya saja berbeda warna”. Semua peristiwa yang pernah
dilalui oleh keluarga itu selalu dicatat dalam sebuah buku kecil yang disimpan
Pak Seno di dalam lemari pakaiannya. Ini bertujuan kelak anaknya mempunyai
sebuah bacaan tentang masa lalunya. Masa lalu yang penuh pelajaran. Ilmu
memang tak hanya ada di bangku sekolah. Ilmu bisa datang darimana saja, kapan
saja dan diajarkan oleh siapa saja.
Hari terus berlalu Johan kini sudah semakin besar. Tapi
kini Johan menjadi anak yang sering marah kepada orang tuanya. “Pak, Johan
kini sudah besar, kita juga sudah mendidik semampu kita kira-kira dia bisa
menangkap semua itu nggak ya pak bagaimana kalau kita beri dia ujian semacam
tes tapi tidak pakai soal tertulis?” Bu Wulan mengutarakan maksud hatinya
untuk menguji sejauh mana anak mereka telah berhasil menyerap hal-hal yang
selama ini telah mereka ajarkan. “InsyaAllah dia mampu merekamnya dengan baik
bu’ usul ibu bagus juga” Pak Seno setuju dengan usul istrinya. Ia memilih
untuk melakukan tes kesabaran kepada anak semata wayangnya
tersebut.
Suatu hari Pak Seno dan Bu Wulan mengajak anak mereka
itu pergi keladang seperti yang biasa dilakukan ketika Johan masih kecil
dulu. Sampai diladang Pak Seno menunjuk seekor burung yang hinggap di pohon
Randu “Itu burung apa ya nak namanya?” Pak Seno sengaja pura-pura tidak tahu.
“Oh…itu burung Kenari pak” Jawab Johan singkat tanpa ekpresi. Setelah itu
giliran ibunya yang bertanya “Kalau itu suara apa ya nak?” Bu Wulan bertanya
sehalus mungkin dan ingin segera tahu bagaimana reaksi anaknya, apakah akan
dijawab sesingkat jawaban atas pertanyaan suaminya tadi atau ia akan
mendapati jawaban yang lembut. ”Ah ibu…itu kan suara burung kenari, masa tidak tahu
sih” Johan menjawab pertanyaan ibunya dengan nada kesal. Dalam hati Johan
menggerutu “Katanya sudah hafal segala bentuk dan rupa yang ada di ladang ini
tapi buktinya masih tanya juga” Ketika memanjat pohon Pak Seno memperlihatkan
sarang Kenari kepada anaknya dan menanyakan kepada anaknya apakah benda yang
dipegangnya itu ”Kalo ini” Johan semakin jengkel dengan orang tuanya ”Bapak
dan ibu ini bertanya terus sih, jelas-jelas itu sarang Kenari kok masih
bertanya”. Melihat respon anaknya Pak Seno dan Bu Wulan sedikit kecewa karena
anak yang telah mereka didik dengan kasih sayang kini tak
memperlihatkan hasil yang membanggakan seperti yang mereka
harapkan.
Akhirnya mereka bertiga pulang. Johan langsung
menuju kamarnya untuk bersantai, tapi bapaknya memanggil agar segera ke teras
rumah “Nak sini, coba lihat kalau itu burung apa ya?” “Bapak ini kok pikun
tho itu kan
burung Kenari sama seperti tadi” Johan hilang kesabaran dan menjawab pertanyaan
bapaknya dengan kasar. Pak Seno terdiam, sejenak kemudian ia mengambil buku
kecil yang ada di lemari pakaian lantas menyerahkan kepada anaknya untuk
dibaca. “Bacalah nak” Johan menuruti permintaan bapaknya dan mulai
menangis. Dingatnya kembali bahwa dulu ternyata ia juga selalu bertanya
kepada kedua orang tuanya tetapi selalu dijawab dengan halus tidak seperti
dirinya sekarang yang menjawab dengan kasar dan tidak sabar. Johan
membayangkan betapa sering dirinya telah bertanya sedari kecil hingga sekarang.
Tentu banyak pengetahuan yang berasal dari jawaban berbumbu sabar dari kedua
orang tuanya. Tak hanya itu ia yakin bahwa selama ini polah tingkahnya kerap
membuat bapak atau ibunya kesal namun Johan sama sekali tak pernah mendapat
bentakan atau cacian kasar.
Ketidak sabaran Johan dan jawaban ketusnya
berbanding terbalik dengan apa yang pernah dilakukan orang tuanya. Tangis
Johan semakin menjadi ia malu pada bapaknya ia sedih mengingat jasa ibunya.
“Allah pasti marah padaku karena telah jadi anak yang tidak sabar” Johan
benar-benar sedih melihat kelakuannya sendiri. Pak Seno tak tega juga melihat
anaknya sesenggukan daritadi, diraihnya tangan kecil Johan “Nak…orang sabar
itu disayang Allah, maka dari itu kita harus sabar”. “Iya pak, Johan salah”.
Bu wulan yang diam daritadi kini angkat bicara “Ya sudah yang penting hari
ini kita sudah mengingat lagi pelajaran tentang sabar dan kita semua harus
mengamalkannya, bukan begitu pak?”. Pak Seno yang ditanya mencoba menjawab
dengan sedikit guyon demi menghentikan tangis anaknya. Sembari bergaya dia
berucap “That’s righttttt bu’” Melihat aksi itu Johan dan bu Wulan tertawa
cekikikan. :
|